SEJARAH PANJANG
MASJID AGUNG KARAWANG
Written by Orang
Karawang Asli 17 Desember 2013
Artikel ini dikutip dari
berbagai sumber di internet dan dari nara sumber Masjid Agung Karawang, saya
simpulkan dan tulis kembali di kaji dan diambil dari segi benang merahnya.
Masjid Agung Karawang
terletak di Jalan Alun – Alun Barat Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang
Barat Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat Indonesia. Masjid Agung Karawang
dibangun oleh seorang Waliyullah yang bernama Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah atau Syech Quro Karawang atau Syech Qurotul’ain pada tahun 1340
Saka atau tahun 1418 Masehi atau sekitar pada abad ke – 15. Pada awalnya Masjid
Agung Karawang ini merupakan sebuah pondok pesantren yang bernama Pesantren
Quro dan sekaligus Mushola kecil untuk tempat mengaji dan sholat 5 waktu bagi
para Santrinya termasuk Nyi Subang Larang dan para Warga Karawang. Masjid Agung
Karawang berbentuk bangunan Joglo bertiang utama (soko guru) yang memiliki empat
tiang utama, bentuk atap Limas bersusun Tiga yang melambangkan : Iman, Islam
dan Ihsan.
Di Masjid Agung Karawang
ini terjadi peristiwa bersejarah yaitu peristiwa pernikahan antara Nyi Subang
Larang putrinya Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon dengan putra mahkota kerajaan
Pajajaran putra dari Prabu Angga Larang
yang bernama Raden Pamanah Rasa. Pernikahan antara Nyi Subang Larang
dengan Raden Pamanah Rasa berlangsung pada tahun 1344 Saka atau tahun 1422
Masehi, dan sebagai penghulunya pada waktu itu adalah Syech Hasanudin atau
Syech Quro Karawang.
Hasil dari pernikahan
tersebut, mereka ( Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa ) dikaruniai 3
orang anak yaitu :
1. Raden Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau
tahun 1423 Masehi ).
2. Nyi Mas Rara Santang atau
Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).
3. Raja Sangara atau Raden
Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).
SYECH QURO KARAWANG
Syech Hasanudin merupakan putra dari Syech Yusuf Sidik (
Waliyullah Malaka ) dengan Dyah Kirana ( Putrinya Imam Jamaludin Al Husain atau
Kakek Syarifah Halimah ). Syech Hasanudin merupakan seorang Waliyullah atau ulama
besar yang lahir dan dibesarkan di Campa, sekarang masuk wilayah Kamboja. Jika
di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syech Hasanudin masih ada garis
keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina Ali r.a. menantu dari Nabi
Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syech Hasanudin ). Selain itu
Syech Hasanudin juga masih suadara seketurunan dengan Syech Nurjati Cirebon
dari generasi ke – 4 Amir Abdullah Khanudin.
Silsilah Syekh Abdurahman
Sebelum mendarat di
Karawang, Syech Hasanudin mendarat untuk pertama kalinya menginjakkan tanah
Jawa di Pelabuhan Cirebon tepatnya di Muara Jati Cirebon. Sebelum mendarat di
Muara Jati Cirebon, Syech Hasanudin mendarat di Martasinga, Pasambangan dan
Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati Cirebon. Syech
Hasanudin mendarat di Pelabuhan Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416
Masehi, sedangkan Syech Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau
tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syech Hasanudin di Cirebon.
Kedatangan Syech Hasanudin di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau
penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.
Maksud dan tujuan kedatangan
Syech Hasanudin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada
Rakyat Cirebon. Syech Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan
sebutan Syech Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau
rakyat Cirebon.
Setelah sekian lama di
Cirebon, akhirnya misi Syech Hasanudin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di
Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu
Angga Larang. Namun disayangkan misi Syech Hasanudin ini oleh Prabu Angga
Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus
utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh
Syech Hasanudin dan mengusir Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah dari
Tanah Cirebon.
Ketika utusan Prabu
Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung
memerintahkan kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah untuk segera menghentikan
dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi
pertumpahan darah, maka oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah
perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu
disetujuinya, dan Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata
kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan
penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran
akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama
Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri
atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech
Hasanudin atau Syech Mursahadatillah untuk memperdalam ajaran Agama Islam.
Ketika itu juga Syech
Hasanudin atau Syech Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati
Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon
menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang,
untuk ikut berlayar bersama Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ke
Malaka.
Waktu terus bergulir
rupanya Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ingin kembali lagi ke tanah
Jawa, untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan ajaran Agama Islam. Syech
Hasanudin atau Syech Mursahadatillah bersama Nyi Subang Larang beserta para
santrinya yang lain seperti : Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur,
berlayar ke Pulau Jawa. Pelayaran yang kedua kalinya ini Syech Hasanudin atau
Syech Mursahadatillah tidak mendarat di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, melainkan
mendarat di Pelabuhan Pura Dalem Karawang, pelayaran kali ini Syech Hasanudin
bersama Nyi Subang Larang beserta para santrinya ikut pelayaran kapal dagang yang
di Nahkodai oleh Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming dari Negara Cina.
Setelah sampai di
Pelabuhan Pura Dalem Karawang, kapal dagang yang di Nahkodai Laksamana Cheng Ho
berlabuh di Pelabuhan Pura Dalem Karawang. Kemudian Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah bersama Nyi Subang Larang beserta santrinya yang lain seperti :
Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur berpamitan kepada Laksamana Cheng Ho,
untuk meneruskan perjalanannya ke pedalaman Karawang, setelah berpamitan dengan
Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah Laksamana Cheng Ho pun melanjutkan
perjalanannya ke Pelabuhan Cirebon dan meneruskan perjalanannya sampai ke
Pelabuhan Kerajaan Majapahit di Surabaya.
Setelah menyusuri Sungai
Citarum, akhirnya rombongan kapal dagang Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah mendarat di Pelabuhan Bunut Kertayasa ( Kampung Bunut Kelurahan
Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ). Atas
izin penguasa setempat, maka rombongan Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah diperbolehkan untuk mendirikan bangunan tempat tinggal dan
tempat untuk mengaji dan solat 5 waktu, yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren
Quro atau Masjid Agung Karawang sekarang. Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah bersama santrinya mendirikan Masjid Agung Karawang ini pada
tahun 1340 Saka atau pada
tahun 1418 Masehi.
Foto Ilustrasi
Masjid Agung Karawang Tahun 1418
Foto Umpak Batu Tempat Tiang Masjid Agung
Karawang Lama
Foto Masjid Agung
Karawang Zaman Sekarang
Kabupaten Karawang pada
zaman dahulu, tepatnya pada zaman Kerajaan Pajajaran memiliki 3 buah pelabuhan
yang sangat penting, yaitu :
1. Pelabuhan Pura Dalem Karawang di Muara Sungai
Citarum ( Sekarang Kecamatan Pakisjaya Kabupaten Karawang ),
2. Pelabuhan Bunut Kertayasa ( Sekarang Kampung
Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang )
dari arah Pelabuhan Pura Dalem,
3. Pelabuhan Nagasari Jebug ( Sekarang Kampung
Nagasari Jebug Kelurahan Nagasari Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang )
dari arah Galuh Pajajaran dan Pakuan Pajajaran.
Adapun bukti bukti yang menguatkan
adanya Pelabuhan Karawang di Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon yaitu
ditemukannya kapak batu Neolit, beberapa keping uang VOC dari tembaga dan uang
Gulden dari bahan perak, pecahan – pecahan porselen dari Tiongkok dan sebuah
makam Embah Dalem yang tidak lain adalah wakil raja yang memerintah di suatu
wilayah ( Penguasa Setempat).
Gambar Uang dan Keramik Yang
Ditemukan
di Kawasan Pelabuhan Bunut
Kertayasa
Makam Syech Abdurahman
Di Masjid Agung Karawang
Ketika di Karawang nama
Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah disebut oleh penduduk Karawang
dengan sebutan nama Syech Quro Karawang atau Syech Qurotul’ain, disebut Syech
Quro karena Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah itu merupakan seorang
Qori yang bersuara merdu ketika sedang membacakan atau melantunkan ayat suci Al
– Qur’an.
Kemerduan suara yang
dilantunkan oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syech Quro
Karawang ini, rupanya didengar oleh seorang wanita yang bernama Ratna Sondari.
Ratna Sondari ini merupakan putrinya Ki Gedeng Karawang, yang pada waktu itu
sedang belajar mengaji di Paguron atau Pesantren Quro Karawang. Lambat laun
akhirnya Ratna Sondari jatuh cinta kepada Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah atau Syech Quro Karawang, dan kemudian Syech Quro dan Ratna
Sondari akhirnya menikah di Pesantren Quro atau di Masjid Agung Karawang.
Hasil pernikahan antara
Syech Quro dan Ratna Sondari, dikaruniai seorang anak laki – laki yang bernama
Ahmad, yang kelak ketika setelah dewasa Ahmad menjadi penerus perjuangan sang
ayah menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang dengan sebutan nama Syech
Ahmad. Perkembangan Pesantren Quro di Karawang sangat pesat, banyak santri –
santri yang berada di luar Karawang untuk belajar di Pesantren Quro.
Akhirnya berita
perkembangan Pesantren Quro yang dipimpin oleh Syech Hasanudin atau Syech
Mursahadatillah atau Syech Quro di Karawang, didengar pula oleh penguasa
Kerajaan Pajajaran Prabu Angga Larang yang berusaha untuk menutup kembali
Pesantren Quro di Karawang. Maka Prabu Angga Larang mengutus anak kandungnya putra
mahkota Kerajaan Pajajaran yang bernama Prabu Pamanah Rasa untuk menutup
Pesantren Quro bersama pengawalnya. Setelah sampai di pesantren tersebut, Raden
Pamanah Rasa tertarik oleh alunan ayat suci Al Quran yang dibacakan oleh Nyi
Subang Larang. Niat untuk menutup kembali Pesantren Quro yang ditugaskan oleh
ayahandanya diurungkan, kemudian Prabu Pamanah Rasa melamar Nyi Subang Larang.
Lamaran di Terima oleh
Nyi Subang Larang dan Syech Quro Karawang dengan syarat, mas kawin harus
Bintang Saketi ( Bintang Kerti Jejer Seratus ) simbol tasbeh dari Mekah, yang
berarti Prabu Pamanah Rasa harus masuk Agama Islam. Syarat yang kedua salah
satu keturunan anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran. Kedua syarat
diterima dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren Syech Quro ( Masjid
Agung Karawang sekarang ) dengan Syeh Quro sebagai penghulunya. Pernikahan
antara Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa berlangsung pada tahun 1344
Saka atau tahun 1422 Masehi. Pada waktu itu Nyi Subang Larang menikah dengan
Raden Pamanah Rasa berusia 14 tahun.
Setelah menjadi Raja
Pajajaran, Raden Pamanah Rasa bergelar Prabu Siliwangi. Dari perkawinan antara
Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Larang ini dikaruniai 3 orang anak yang dibernama
:
1. Raden Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau
tahun 1423 Masehi ).
2. Nyi Mas Rara Santang atau
Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).
3. Raja Sangara atau Raden
Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).
Berita perkembangan
Pesantren Quro di Karawang dan kemahiran yang dimiliki oleh Syech Quro
Karawang, selain didengar oleh Prabu Angga Larang penguasa Kerajaan Pajajaran,
juga didengar pula oleh Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir
Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a.
Yang berasal dari negeri Bagdad.
Setelah tiba di
Pelabuhan Pura Dalem Karawang dan menelusuri sungai Citarum, akhirnya Syech
Abdiulah Dargom alias Syech Darugem tiba di Pelabuhan Bunut Kertayasa.
Sesampainya di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Syech Abdiulah Dargom alias Syech
Darugem di sambut baik oleh Syech Quro Karawang.
Namun kedatangan Syech
Abdiulah Dargom alias Syech Darugem ke Pesantren Quro Karawang, bermaksud ingin
mengadu keahlian yang dimiliki oleh Syech Quro Karawang. Akhirnya oleh Syech
Quro keinginan itu diturutinya, dan pada akhirnya keahlian yang dimiliki oleh
Syech Quro lah yang tangguh. Keahlian atau karomah yang diberikan oleh Allah
swt., kepada Syech Quro Karawang yaitu “ Weruh Sedurung Winara “ yang artinya
dapat mengetahui suatu peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi.
Ketika itu pula Syech
Abdiulah Dargom alias Syech Darugem, menerima kekalahan dan berniat untuk
berguru kepada Syech Quro Karawang untuk menjadi santrinya. Dan pada waktu itu
Syech Quro memberi nama Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem dengan
sebutan nama Syech Bentong.
Perkembangan Pesantren
Quro di Karawang selain didengar oleh Prabu Angga Larang dan Syech Abdiulah
Dargom alias Syech Darugem alias Syech Bentong, juga didengar oleh penguasa
Pelabuhan Cirebon yakni oleh Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon dan Syech
Nurjati Cirebon.
Mendengar kabar ini
disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa dan Syech Nurjati, sehingga Syech Quro
Karawang di Paguron atau Pesantren Quro dengan Syech Nurjati Cirebon menjalin
persahabatan dengan gerakan dakwah
mereka berdua secara harmonis dan berjalan saling bantu membantu, yakni :
1. Syech Quro Karawang mengirimkan
orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pesambangan untuk
menjalin persahabatan.
2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng
Karawang ) atau istrinya Syech Quro Karawang memberikan sumbangan hartanya
untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung ( Nur Giri Cipta Rengga ) yang
bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.
3. Syech Abdiulah
Dargom alias Syech Darugem alias Syech Bentong dan Syech Bayanullah (
Adiknya Syech Nurjati Cirebon ) setelah menunaikan ibadah haji, mereka ( Syech
Bayanullah dan Syech Bentong ) mendirikan Pesantren Quro di Desa Sidapurna
Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang.
Waktu terus bergulir ketika
usia anak Syech Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syech
Quro berwasiat kepada santri – santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang
ajaran Agama Islam seperti : Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur di
tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang,
tepatnya ke Kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang.
Sedangkan anaknya Syech Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syech Ahmad,
ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam
di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya
yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari
istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa
Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama
Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech
Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih
dipergunakan sampai sekarang.
Waktu terus bergulir
usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia
dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten
Karawang. Sebelum
meninggal dunia Syech Quro berwasiat kepada santri – santrinya berupa : “Ingsun
Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.
Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo
Bata, diteruskan oleh Syech Bentong sampai akhir hayatnya Syech Bentong.
Makam Syech Quro
Karawang dan Makam Syech Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias
Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias
Pangeran Sambri dan Syech Tolha,
di tugaskan oleh kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur
Cirebon yang bernama Syech Quro.
Bukti
adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan
Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu
Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin saat berkunjung ke tempat itu dan surat,
penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta
Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992
yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten
Karawang.
Makam Syech Quro Karawang di Pul Kalapa
dan
Syech Bentong di Pul Masigit
Meskipun Syech Quro Karawang telah
wafat, namun kerja sama dan persahabatan antara Karawang dengan Cirebon tetap
berlanjut. Adapun bukti dari persahabatannya yaitu :
1. Cucunya
Syech Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yang bernama Musanudin, kelak Musanudin
menjadi lebai atau pemimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada
masa pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedang Syech
Ahmad itu sendiri merupakan anak dari Syech Quro Karawang dengan Ratna Sondari putri Ki Gedeng Karawang.
2. Pengangkatan
juru kunci di situs makam Syech Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman
Cirebon.
SYARIF HIDAYATULLAH ( SUNAN GUNUNG JATI CIREBON )
Waktu terus bergulir,
ketika anak – anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak
usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syech Quro, maka
ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu
ditugaskan oleh Syech Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke
Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syech Nurjati Cirebon.
Setelah cukup
mendapatkan bimbingan dari Syech Nurjati Cirebon, maka ketiga anak – anak dari
Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberitugas oleh Syech Nurjati
Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang
bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan
mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan
Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden
Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan
sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk
mendapatkan bimbingan.
Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka
Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk
melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech
Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka
kakanya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh
Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang bernama Nyi
Mas Rara Santang ketika di Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama
Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.
Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya
Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon,
sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke
negeri Mesir.
Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan
Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil
dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau
Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :
1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada
tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).
2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375
Saka atau tahun 1453 Masehi ).
SYARIF HIDAYATULLAH
( SUNAN GUNUNG JATI CIREBON )
Waktu terus berganti, setelah
Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal
dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan
Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan
menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup menimba
ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif
Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud
untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu atau sungkem kepada Eyang dan Uwaknya
Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan
Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif
Hidayatullah ).
Sesampainya di Pelabuhan
Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan
Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan Uwaknya
Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon
yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di
Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng
Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam
lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan
Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati Cirebon.
Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron
Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan – wejangan yang
berharga dari Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir,
banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati
penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat
perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau
ia melepaskan perbuatannya itu.
Dan ketahuilah bahwa nanti di
akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri,
tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan
sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu
sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.
Baiklah engkau sekarang
menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk
dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena
pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman,
ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syech Quro di Karawang. Mereka berdua
masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit.
Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau
terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara
golongan tua dan muda.
Selain itu, dalam usahamu nanti
janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan
sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara,
yakni syare’at, hakekat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.
Waktu terus berganti, ketika Syech Nurjati meninggal
dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syech
Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafid.
Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh
Datuk Khafid sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung
Jati digantikan atau di pimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan
kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif
Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.
Paguron Gunung Jati yang di pimpin
oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri – santri di
luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan
ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni
Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan
Cirebon.
Ketika memimpin Kerajaan Cirebon
Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah
dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif
Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :
2. Maulana
Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi
atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid Sang Cipta Rasa.
Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan
Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata
" Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta " yang berarti
dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang
Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan,
yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan
pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai
etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang
memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.
MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA CIREBON
Menurut tradisi, pembangunan masjid
ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak,
dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden
Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak – Majapahit,
untuk membantu Sunan
Kalijaga merancang
bangunan masjid tersebut.
Selain Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Cirebon, di Cirebon juga terdapat sebuah Masjid yang bernama Masjid Merah
Panjunan. Masjid Merah Panjunan di bangun pada masa Wali Songo yaitu pada masa
Sunan Gunung Jati Cirebon, tepatnya pada tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi
oleh Pangeran Panjunan yang adalah salah satu murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Masjid
Merah Panjunan ini terletak di Kampung Panjunan, kampung pembuat Jun atau Keramik
Porselen.
MASJID MERAH PANJUNAN CIREBON
Jika kita mengulas kembali
pada saat pengusiran Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syech Quro
Karawang atau Syech Qurotul’ain oleh utusan dari Kerajaan Pajajaran ketika berada
di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, Syech Quro Karawang seraya mengatakan “ Meskipun
dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan
raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan
penyebaran ajaran Agama Islam ”. Maka perkataan Syech Quro Karawang ini jelas
dan benar – benar terjadi, bahwa dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang
menjadi Waliyullah yaitu bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Cirebon. “ Wallahu’alam bissawab “.
Assalamualaikum, saya ingin mengetahui, kelanjutan cerita syech Ahmad bin syech Quro, sampai semua keturunan syech Ahmad kemana ya saya cari, tks
BalasHapusAne setuju sama komenan di atas..hehe
BalasHapus